Forum Kita Semua
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Petinggi...

Go down

Petinggi... Empty Petinggi...

Post by Neo Fri Jan 01, 2010 3:35 pm

Akhir pekan minggu lalu saya habiskan dengan bekerja di Kota Buaya, tepatnya di hotel berbintang lima, lebih tepatnya lagi di sebuah hotel resor. Saya juga kaget, ada hotel resor di tengah Kota Buaya yang panasnya saat itu mencapai tiga puluh delapan derajat celsius.

Melangkah keluar dari lapangan terbang dan keluar dari mobil saat tiba di tempat penginapan itu kulit terasa cekit-cekit. Cekit-cekit itu sama dengan perasaan yang Anda alami kalau menggigit lombok rawit. Sengaja atau tidak sengaja. Kalau teman saya arek Suroboyo bicaranya seperti ini, ”Sambele ndek ilat cekit-cekit.”

Mungkin sudah waktunya kalau kota penuh beton ini punya hotel resor, yang bisa menjadi tempat pelarian sejenak untuk ”mendinginkan” mata dan berefek sampai ke emosi. Saya tiba di penginapan sekitar pukul delapan pagi, senang melihat taman luas asri buatan seorang arsitek taman yang kondang, setelah melihat pemandangan rumput kering berwarna coklat mengenaskan sepanjang perjalanan menuju ke tempat penginapan itu.

Turba

Kalau saya mendengar hotel berpredikat atau dikategorikan bintang lima, pemikiran saya hanya sampai kepada kemewahan interiornya, kecanggihan fasilitasnya, tamu-tamu ternama yang pernah menginap, dan harganya yang selangit dibandingkan dengan hotel ecek-ecek.

Pada akhir pekan itu saya belajar sesuatu, yaitu yang namanya hotel berbintang lima ternyata bukan sekadar tempat penginapan yang memberi gengsi semata, tetapi petingginya bisa turun langsung melayani tamunya seperti bukan petinggi. Sebuah tindakan nyata, bukan sekadar slogan menarik, seperti dalam iklan hotel berbintang pada umumnya.

Setiap pukul enam sore para bos berkumpul di lobi hotel, menyapa tamu, membagikan kartu nama, bukan untuk memasarkan diri sendiri, tetapi untuk memudahkan tamunya berbicara langsung kepada mereka. Mau memuji kek, mau complain kek.

Kehadiran mereka di lobi membuat para tamu tak perlu susah-susah membuat perjanjian curhat dengan mereka. Pengalaman saya, kalau mau bertemu petinggi jalannya lebih banyak berliku ketimbang lurus. Petugas ”satpam”-nya banyak dan kadang ada petinggi yang senang membuat jalan berliku supaya terasa ia petinggi. Kalau gampang, takut kelihatan kayak jongos. Yaaaa… kalau bisa disusahkan, mengapa mesti dimudahkan.

Kehadiran bos-bos di lobi hotel itu melahirkan pertanyaan. Mengapa mereka melakukan itu? Tidak seperti saya, mereka mau mencoba berdiri di sisi orang lain, tepatnya berdiri di sisi konsumen.

Kalau saya, orientasinya diri sendiri, bukan consumer driven. Itu mengapa, saya jarang menyediakan waktu untuk orang lain, untuk memberi mereka sesi curhat. Saya tak siap di-complain. Yaa... kalau cara kritiknya halus. Bagaimana kalau nyelekit? Karena itu, saya sering menggunakan anak buah sebagai tameng. Cukup menyodorkan humas.

Pimpinan tertinggi hotel itu mengatakan kepada saya, ”Harga di tempat ini bukan hanya termasuk kamar dan makan pagi saja, tetapi termasuk bertemu dengan kami yang siap melayani.”

Saya berpikir, kalau para jenderalnya saja bisa turba, bukankah sebagai konsumen saya ada di tangan yang aman dan diperlakukan istimewa? Mungkin inilah yang membedakan hotel ini dari hotel lain, sebuah unique selling proposition yang datang dari hal-hal sederhana yang mungkin sudah banyak dilupakan orang.

Petinggi ”Of The Year”

Di tempat penginapan ini surat selamat datang di dalam kamar ditulis dengan goresan tangan pemimpinnya, bukan dicetak biasa dan hanya ditandatangani. Saya tak tahu apakah ia melakukan untuk semua tamunya, tetapi paling tidak, surat dengan sentuhan yang ”personal” itu melahirkan sejuta perasaan yang menyinggung saya.

Saya malas repot-repot menulis kartu ucapan ulang tahun dan sebagainya. SMS saja, selesai semua. Seharusnya, kejutan kecil macam itu bisa jadi membuat orang merasa istimewa. Bagaimana tidak? Menulis dengan goresan tangan memerlukan waktu dan usaha.

Saya sudah lama, lama sekali, tak pernah berpikir membuat orang lain merasa istimewa. Itu mengapa saat lift terbuka, saya main langsung masuk saja. Mau yang di dalam susah keluar, itu urusan mereka. Semua itu karena saya tak mau berdiri di sisi orang lain. Maka, melayani menjadi kerepotan.

Waktu saya di dalam lift bersama beberapa petinggi hotel berbintang lima itu, tiba-tiba sang pemimpin mengeluarkan dompet tipis berwarna gelap dari kantong jas yang ternyata tempat lap pembersih. Dia langsung menyeka bekas tangan yang tampak di pegangan besi di dalam lift.

Sambil masih membersihkan, ia menjelaskan semua atasan dibekali dompet tipis itu, sehingga kapan pun dan di mana pun mereka yang dipredikatkan bos dalam setelan jas, juga siap membersihkan.

Melihat kejadian itu, terbersit ide, bagaimana kalau mulai besok, siapa pun Anda yang dikategorikan petinggi, menyediakan dompet tipis berisi lap di kantong jas atau celana. Kalau Anda yang di tempat tinggi mau melakukan pekerjaan semacam itu, bawahan Anda pasti akan mengagumi dan meniru perbuatan mulia itu. Jadi, pemimpin yang bukan no action talk only.

Maka, yang disebut petinggi yang dihormati adalah kalau ia bisa berperilaku seperti bawahan. Menjadi warga biasa, bukan warga luar biasa. Petinggi yang bisa memberi kejutan, dan membuat orang lain merasa istimewa. Mungkin kalau ada penghargaan, misalnya, Petinggi of The Year, maka salah satu penilaiannya adalah petinggi yang membawa lap ke mana-mana.

Saat saya menyelesaikan tulisan ini, seorang teman mengirimkan SMS begini: Siapa yang meninggikan diri akan direndahkan, siapa yang merendahkan diri akan ditinggikan”.
Nurani saya cekikan terus bersuara begini, ”Eh, Mas, jangan cumanya bisa nyaranin orang lain bawa lap. Sampean juga.” Saya balas suara dari dalam itu. ”Maaf ya… akyu bukan petinggi.”
Neo
Neo
Super Moderator
Super Moderator

Posts : 43
Join date : 2009-09-24

Back to top Go down

Back to top


 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum